Minggu, 29 Maret 2015

BAB II PERKEMBANGAN DAN KLASIFIKASI AKUNTANSI INTERNASIONAL

1.     Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Dunia Akuntansi

Dewasa ini perkembangan tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu sebagai berikut :
·       Sumber pendanaan
Pada negara yang memiliki pasar ekuitas yang kuat, akuntansi memiliki fokus atas seberapa baik manajemen menjalankan perusahaan (profitabilitas), dan dirancang untuk membantu investor menganalisis arus kas masa depan dan risiko terkait. Sedangkan dalam Negara yang menerapkan sistem berbasis kredit, memiliki fokus atas perlindungan kreditor melalui pengukuran akuntansi yang konservatif.
·       Sistem hukum
Dunia barat mempunyai dua orientasi dasar yaitu hokum kode (sipil) dan hokum umum (kasus). Hukum kode diambil dari hukum Romawi dan kode napoleon. Di Negara-negara yang menerapkan hukum kode, aturan akuntansi digabungkan dalam hukum nasional dan cenderung sangat lengkap serta mencakup banyak prosedur. Sedangkan hukum umum berkembang atas dasar kasus per kasus tanpa adanya usaha untuk mencakup seluruh kasus dalam kode yang lengkap. Aturan akuntansi menjadi adaptif dan inovatif karena ditetapkan oleh organisasi profesional sektor swasta.
·       Perpajakan
Di kebanyakan Negara, peraturan pajak secara efektif menentukan standar karena perusahaan harus mencatat pendapatan dan beban dalam akun mereka untuk mengklaimnya guna keperluan pajak. Namun, ketika akuntansi keuangan dan pajak terpisah, kadang-kadang aturan pajak mengharuskan penerapan prinsip akuntansi tertentu, yang berbeda dengan prinsip akuntansi keuangan.
·       Ikatan politik dan ekonomi
Banyak Negara berkembang yang menerapkan system akuntansi yang dikembangkan oleh bangsa lain, entah karena paksaan ataupun
karena keinginan sendiri. Seperti contoh sistem pencatatan double entry yang berawal di italia kemudian menyebar di Eropa; Inggris mengekspor akuntan dan konsep akuntansi di seluruh wilayah kekuasaannya; pendudukan jerman pada saat PD II menyebabkan Perancis menerapkan plan comptable. USA memaksa rezim pengatur akuntansi bergaya USA di Jepang pada saat PD II.
·       Inflasi
Inflasi menyebabkan distorsi terhadap akuntansi biaya histories dan mempengaruhi kecenderungan (tendensi) suatu Negara untuk menerapkan perubahan terhadap akun-akun perusahaan.
·       Tingkat Perkembangan Ekonomi
Faktor ini mempengaruhi jenis transaksi usaha yang dilaksanakan dalam suatu perekonomian dan menentukan manakah yang paling utama. Masalah akuntansi seperti penilaian aktiva tetap dan pencatatan depresiasi yang sangat relevan dalam sector manufaktur menjadi semakin kurang penting.
·       Tingkat Pendidikan
Standar praktik akuntansi yang sangat rumit akan menjadi tidak berguna jika disalahartikan dan disalahgunakan. Pengungkapan mengenai resiko efek derivative, misalnya, tidak akan informatif kecuali jika dibaca oleh pihak yang berkompeten.
·       Budaya
Budaya berarti nilai-nilai dan perilaku yang dibagi oleh suatu masyarakat. Variasi budaya mendasari pengaturan kelembagaan di suatu Negara.

Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan akuntansi nasional, juga membantu menjelaskan perbedaan akuntansi antar bangsa. Delapan faktor yang mempengaruhi perkembangan akuntansi di atas, yang mana diantaranya sumber pendanaan, sistem hukum, perpajakan, ikatan politik dan ekonomi, inflasi, tingkat perkembangan ekonomi, tingkat pendidikan, dan budaya; berpengaruh secara signifikan terhadap berkembangnya akuntansi di dunia. 

2.     Pendekatan Perkembangan Akuntansi Dalam Ekonomi Yang Berorientasi Pasar

Ada empat pendekatan terhadap perkembangan akuntansi, yaitu :
·       Berdasarkan pendekatan Makroekonomi
Praktek akuntansi didapatkan dari dan dirancang untuk meningkatkan tujuan makroekonomi nasional.
·       Berdasarkan pendekatan Mikroekonomi
Akuntansi berkembang dari prinsip-prinsip mikroekonomi. Fokusnya terletak pada perusahaan secara individu yang memiliki tujuan untuk bertahan hidup. Untuk mencapai tujuan ini, perusahaan harus mempertahankan modal fisik yang dimiliki. Juga sama pentingnya bahwa perusahaan memisahkan secara jelas modal dari laba untuk mengevaluasi dan mengendalikan aktivitas usaha. Pengukuran akuntansi yang didasarkan pada biaya penggantian sangat didukung karena paling sesuai dengan pendekatan ini. Akuntansi di Belanda berkembang dari mikroekonomi.
·       Berdasarkan pendekatan Independent
Akuntansi berasal dari praktek bisnis dan berkembang secra ad hoc, dengan dasar perlahan-lahan dan pertimbangan, coba-coba dan kesalahan.akuntansi dipandang sebagai fungsi jasa yang konsep dan prinsipnya diambil dari proses bisnis yang dijalankan dan bukan dari cabang keilmuan seperti ekonomi.
·       Berdasarkan pendekatan yang Seragam
Akuntansi di standarisasi dan digunakan sebagai alat untuk kendali administrasi oleh pemerintah pusat. Keseragaman dalam pengukuran, pengungkapan dan penyajian akan memudahkan perancang pemerintah, otoritas pajak bahkan manajer untuk menggunakan informasi akuntansi dalam mengendalikan seluruh jenis bisnis. Secara umum, pendekatan seragam digunakan Negara-negara dengan keterlibatan pemerintah yang besar dalam perencanaan ekonomi di mana akuntansi digunakan antara lain untuk mengukur kinerja, mengalokasikan sumber daya, mengumpulkan pajak dan mengendalikan harga. Prancis, dengan bagan akuntansi nasional yang seragam, merupakan pendukung utama pendekatan seragam.

3.     Negara Yang Dominan Dalam Perkembangan Praktek Akuntansi

Beberapa negara yang dominan terhadap perkembangan akuntansi antara lain :
·       Prancis
·       Jepang
·       Amerika Serikat
Dalam perkembangannya negara Prancis dan Jepang masih kurang dominan ketimbang Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan akuntansi Jepang yang dalam perkembangannya saat ini didasarkan pada IFRS yang ada.

4.     Klasifikasi Akuntansi Internasional

Pengetahuan dasar klasifikasi akuntansi internasional dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu :
·       Pendekatan Deductive
Yaitu mengidentifikasikan faktor lingkungan yang relevan dan mengkaitkan itu dengan praktek akuntansi nasional, pengelompokan internasional atau pola perkembangan yang diajukan.
·       Pendekatan Inductive
Praktek akuntansi individual dianalisa, pola perkembangan atau pengelompokan diidentifikasikan dan di akhir penjelasan dibuat dari sudut pandang ekonomi, sosial, politik dan faktor-faktor lainnya.

5.     Perbedaan Penyajian Wajar Dan Kepatuhan Terhadap Hukum Dan Negara Mana Yang Dominan Penerpannya

Penyajian wajar dan kepatuhan terhadap hukum mengalami banyak permasahan. Ini menyangkut penyesuaian yang dilakukan terhadap pemberlakuan IFRS sebagai dasar penyajian. Beberapa masalah diantaranya :
·      Depresiasi, di mana beban ditentukan berdasarkan penurunan kegunaan suatu aktiva selama masa manfaat ekonomi.
·      Sewa guna usaha yang memiliki substansi pembelian aktiva tetap (properti) diperlakukan seperti itu (penyajian wajar) atau diperlakukan seperti sewa guna usaha operasi yang biasa (kepatuhan hukum).
·       Pensiun dengan biaya yang diakrual pada saat dihasilkan oleh karyawan (penyajian wajar) atau dibebankan menurut dasar dibayar pada saat Anda berhenti bekerja (kepatuhan hukum).

6.     Isu Penting Perbedaan Antara Penyajian Wajar dan Kepatuhan Terhadap Hukum

Isu penting yang terjadi saat ini adalah tentang pemberlakuan IFRS sebagau dasar penyajian. Sehingga negara-negara yang belum melakukan penyajian wajar melalukan penyesuaian terhadap laporannya.
Perbedaan antara penyajian wajar dan kesesuaian hukum menimbulkan pengaruh yang besar dan menimbulkan pengaruh yang besar terhadap banyak permasalahan akuntansi. Akuntansi hukum umum berorientasi pada kebutuhan pengambilan keputusan oleh investor luar. Akuntansi kepatuhan hukum dirancang untuk memenuhi ketentuan yang dikenakan pemerintah seperti perhitungan laba kena pajak atau mematuhi rencana ekonomi pemerintah nasional. Setelah tahun 2005, seluruh perusahaan Eropa yang mencatatkan sahamnya akan menggunakan akuntansi penyajian wajar dalam laporan konsolidasinya karena mereka akan menggunakan IFRS.

Kamis, 15 Januari 2015

ETIKA PROFESI AKUNTANSI

Nama Kelompok:
·        Belli Febriani              21211456
·        Istiana Khairany        23211744
·        Isye Siti Sarah            23211746
·        Mifta Huljannah         24211468
·        Nisa Nur Hikmah     25211188
·        Nuriyanti Oktavia     25211357
·        Nurul Sukma Putri   25211411
·        Amanda Safrida       20211658
·        Benedictus A.          21211458
·        Iven Pundawa         27211989

JURNAL AKUNTANSI DAN KEUANGAN, VOL. 11, NO. 1, MEI 2009: 13-20

Pengaruh Profesionalisme, Pengetahuan Mendeteksi Kekeliruan,
dan Etika Profesi Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas
Akuntan Publik

Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto
Trisakti School of Management
Email: arleen@stietrisakti.ac.id, siou_chiang@yahoo.com

ABSTRAK

Untuk mempertahankan kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai. Adapun kompetensi tersebut adalah profesionalisme, pengetahuan dalam mendeteksi kekeliruan dan pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses pemeriksaan laporan keuangan. Data diperoleh melalui kuisioner survei yang diisi oleh akuntan senior sampai partner yang bekerja di Kantor Akuntan Publik. Data dianalisis menggunakan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa profesionalisme, pengetahuan dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses  memeriksaan laporan keuangan.
Kata kunci: Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan,etika profesi dan pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik.

PENDAHULUAN
Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak yang membutuhkan. Untuk dapat meningkatkan sikap profesionalisme dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, hendaknya para akuntan publik memiliki pengetahuan audit yang memadai serta dilengkapi dengan pemahaman mengenai kode etik profesi.
Seorang akuntan publik dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata–mata bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan juga untuk pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan auditan. Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para pemakai laporan keuangan lainnya, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai.
FASB dalam Statement of Financial Accounting Concept No.2, menyatakan bahwa relevansi dan reliabilitas adalah dua kualitas utama yang membuat informasi akuntansi berguna untuk pembuatan keputusan. Untuk dapat mencapai kualitas relevan dan reliabel maka laporan keuangan perlu diaudit oleh akuntan publik untuk memberikan jaminan kepada pemakai bahwa laporan keuangan tersebut telah disusun sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia.
Profesionalisme telah menjadi isu yang kritis untuk profesi akuntan karena dapat menggambarkan kinerja akuntan tersebut. Gambaran terhadap profesionalisme dalam profesi akuntan publik seperti yang dikemukakan oleh Hastuti dkk. (2003) dicerminkan melalui lima dimensi, yaitu pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan rekan seprofesi.
Selain menjadi seorang profesional yang memiliki sikap profesionalisme, akuntan publik juga harus memiliki pengetahuan yang memadai dalam profesinya untuk mendukung pekerjaannya dalam melakukan setiap pemeriksaan. Setiap akuntan publik juga diharapkan memegang teguh etika profesi yang sudah ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), agar situasi penuh persaingan tidak sehat dapat dihindarkan. Selain itu, dalam perencanaan audit, akuntan publik harus mempertimbangkan masalah penetapan tingkat risiko pengendalian yang direncanakan dan pertimbangan awal tingkat materialitas untuk pencapaian tujuan audit.
Penelitian ini merupakan pengembangan penelitian yang dilakukan oleh Hastuti dkk. (2003). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada (1) obyek penelitian, yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ada di Jakarta. Dengan mengambil KAP di Jakarta sebagai obyek penelitian diharapkan dapat merepresentasikan KAP di Indonesia karena sebagian besar KAP big 4 dan KAP non big 4 berada di Jakarta; (2) penambahan variabel independen, yaitu pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan yang diambil dari penelitian Sularso dan Na’im (1999), dan etika profesi yang diambil dari penelitian Murtanto dan Marini (1999). Akuntan yang lebih berpengalaman akan bertambah pengetahuannya dalam melakukan proses audit khususnya dalam memberikan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Selain pengetahuan, akuntan juga dituntut etika dalam profesinya sehingga pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan diberikan. Sewajarnya sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin membuktikan secara empiris pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

RUMUSAN MASALAH
Bagaimana pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan secara empiris?

HIPOTESIS
H1: Profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

H2: Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

H3: Etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

Model penelitian dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 1 Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas


METODE PENELITIAN
Obyek penelitian yang diambil adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada Direktori Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) 2008 di wilayah Jakarta dengan akuntan publik yang bekerja di KAP dijadikan sebagai responden. Para akuntan publik tersebut harus memiliki pengalaman bekerja minimal dua tahun, memiliki jenjang pendidikan minimal S1 dan posisi minimal sebagai akuntan publik senior, untuk tujuan memperoleh responden yang memiliki pengalaman dalam menentukan tingkat materialitas.
Metoda sampling yang digunakan adalah convenience sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kemudahan, sehingga penulis mempunyai kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan mudah. Data dikumpulkan melalui survai kuisioner yang dikirmkan kepada responden baik secara langsung atau melalui contact person. Jumlah kuisioner yang dikirimkan kepada responden sebanyak dua ratus, kuisioner yang direspon sebanyak seratus lima puluh.
Profesionalisme
Profesionalisme merupakan sikap seseorang profesionalisme terdiri dari dua puluh empat item instrument, seperti yang pernah digunakan oleh Hastuti dkk. (2003), yang diukur dengan menggunakan tujuh poin skala likert untuk mengukur tingkat profesionalisme akuntan publik.
Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan
Sularso dan Na’im (1999) menyatakan akuntan yang memiliki pengetahuan dan keahlian secara profesional dapat meningkatkan pengetahuan tentang sebab dan konsekuensi kekeliruan dalam suatu siklus akuntansi. Variabel pengetahuan akuntan publik ini diukur dengan menggunakan sembilan belas item instrumen untuk mendeteksi macam–macam kekeliruan yang terjadi dalam siklus penjualan, piutang dan penerimaan kas. Pengukuran variabel ini dilakukan dengan angka 1 dan 0, poin 1 diberikan jika jawaban responden sesuai dengan harapan penulis dan poin 0 diberikan jika jawaban responden tidak sesuai dengan harapan penulis.
Instrumen untuk mengukur variabel ini pernah digunakan oleh Sularso dan Na’im (1999) dan Fahmi (2002).
Etika Profesi
Etika profesi yang dimaksud pada penelitian ini adalah Kode Etik Akuntan Indonesia, yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan publik dengan kliennya, antara akuntan publik dengan rekan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Etika profesi terdiri dari lima dimensi yaitu kepribadian, kecakapan profesional, tangung jawab, pelaksanaan kode etik, penafsiran dan penyempurnaan kode etik.
Terdapat delapan belas item instrumen yang digunakan untuk mengukur etika profesi dengan tujuh poin skala likert, seperti yang pernah digunakan oleh Murtanto dan Marini (2003).
Materialitas
Materialitas adalah besarnya penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, yang dapat mempengaruhi pertimbangan pihak yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut (Mulyadi 2002:158). Item instrumen yang digunakan sebanyak delapan belas pernyataan dengan tujuh poin skala likert, seperti yang pernah digunakan oleh Hastuti dkk. (2003).
Alat analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah multiple regression analysis dengan model persamaan sebagai berikut:
Mat= β0+β1Prof+β2PAK+β3EP+β4LM+ β5Po+β6Pd+ β7G+ β8Um+ε (1)
Keterangan:
1) Mat: Materialitas;
2) Prof: Profesionalisme;
3) PAK: Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan;
4) EP: Etika profesi;
5) LM: Lama Kerja;
6) Po: Posisi;
7) Pd: Pendidikan;
8) G: Gender;
9) Um: Umur;
10) ε= error term.

PEMBAHASAN
Dalam pengujian hipotesis, penelitian memasukan variabel karakteristik responden seperti lama bekerja di KAP, jabatan pekerjaan,tingkat pendidikan, gender dan umur yang merupakan variabel kontrol. Tujuan memasukan variabel kontrol adalah mengendalikan hasil penelitian agar tidak dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik responden.
.




Statistik deskriptif dapat dilihat dalam Tabel 2 dan hasil pengujian hipotesis dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas

Hasil statistik deskriptif menunjukan bahwa rata-rata responden memberikan nilai pada variabel profesionalisme sebesar 5,420, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,865, etika profesi sebesar 6,004, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 5,327. Sedangkan untuk deviasi standar profesionalisme sebesar 0,755, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,179, etika profesi sebesar 0,767, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 0,569. Nilai minimum dan nilai maksimum yang diberikan responden untuk variabel profesionalisme sebesar 3,05 sampai dengan 7, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,24 sampai dengan 1, etika profesi sebesar 3,29 sampai dengan 7, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 3,44 sampai dengan 6,81.
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik untuk menguji pemenuhan syarat regresi. Hasil uji asumsi klasik menunjukan bahwa semua asumsi terpenuhi yang dapat dilihat pada Tabel 3. Selain uji asumsi klasik, model regresi yang diajukan memenuhi kelayakan model terlihat dari nilai F8,136 sebesar 7,647 dengan p-value 0,000, artinya model regresi merupakan model yang baik guna dipakai dalam enyederhanaan dunia nyata.
Hasil pengujian hipotesis satu terlihat pada koefisien profesionalisme yang bernilai positif (0,231) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,004) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis satu terbukti. Hasil pengujian hipotesis satu menunjukkan bahwa tingkat profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis satu konsisten dengan hasil penelitian Hastuti dkk. (2003) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi profesionalisme akuntan publik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Hasil pengujian hipotesis dua terlihat pada koefisien pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan yang bernilai positif (0,613) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,01) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis dua terbukti. Hasil pengujian hipotesis dua menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
Terbuktinya hipotesis dua konsisten dengan hasil penelitian Noviyani dan Bandi (2002) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Hasil pengujian hipotesis tiga terlihat pada koefisien etika profesi yang bernilai positif (0,233) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,002) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis tiga terbukti. Hasil pengujian hipotesis tiga menunjukkan bahwa etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis tiga konsisten dengan hasil penelitian Agoes (2004) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi akuntan publik mentaati kode etik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Berdasarkan Tabel 3, hasil penelitian ini tidak terpengaruh oleh karakteristik dari responden, yaitu lama kerja dan posisi dalam Kantor Akuntan Publik, tingkat pendidikan, gender dan umur. Terbuktinya hipotesis satu, dua dan tiga tidak terpengaruh oleh karakterisitik-karakteristik tersebut.

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini mendukung semua hipotesis dan konsisten dengan penelitian Hastuti dkk. (2003). Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa profesionalisme, pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, pengetahuannya dalam mendeteksi kekeliruan dan ketaatannya akan kode etik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya dalam melaksanakan audit laporan keuangan.
Hasil penelitian dapat memberikan kontribusi bagi Kantor Akuntan Publik dalam meningkatkan kinerja KAP secara keseluruhan dengan meningkatkan profesionalisme akuntan publik, memberikan pengetahuan yang memadai bagi akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi dalam setiap pelaksanaan proses audit atas laporan keuangan sehingga dapat dihasilkan laporan keuangan auditan yang berkualitas. Bagi akuntan publik, menjadi sumber tambahan informasi bagi pertimbangan tingkat materialitas dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan klien, sehingga dapat meningkatkan prestasi dan kualitas audit serta dapat menambah pengetahuan serta pengalaman akuntan publik tersebut dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi sebagai seorang akuntan publik.

KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan untuk penelitian berikutnya, yaitu penggunaan kuisioner dalam pengumpulan data mengenai pengaruh profesionalisme, pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan mungkin akan berbeda apabila data diperoleh melalui penyampaian tatap muka langsung terhadap responden.
Kedua, penelitian ini hanya menguji pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Terakhir, pemilihan sampel dengan menggunakan teknik convinience sampling karena kemudahan dalam mendapatkan sampel sehingga kurang merepresentasikan populasi. Selain itu, pemilihan sampel yang hanya berlokasi di Jakarta mudah dijangkau kemungkinan akan memberikan kesimpulan yang tidak dapat  digeneralisasi untuk lokasi lainnya. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah (1) menyebarkan kuisioner dengan metoda wawancara atau terlibat tatap muka langsung dengan responden; (2) variabel penelitian dapat dikembangkan dengan menambah variabel lain mengenai kualitas audit, pengalaman akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan untuk menunjukkan apakah terdapat pengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dan risiko audit atau bisa melakukan uji beda dengan menggunakan sampel KAP Big Four dan Non Big Four; dan (3) menambah jumlah sampel dan memperluas lokasi pengambilan sampel tidak hanya di Jakarta saja.



DAFTAR PUSTAKA


Agoes, S. (2004). Auditing, Pemeriksaan Akuntan oleh Kantor Akuntan Publik. Jakarta: LPFE-UI.

Arens, A.A., RJ. Elder, M.S. Beasley. (2005). Auditing and Assurance Services, an Intergrated Approach, Prentice Hall, Pearson.

Fahmi, M. (2000). Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan dalam Mendeteksi Kekeliruan. Skripsi. Jakarta: Trisakti School of Management.

Hastuti, T.D., S.L. Indriarto dan C. Susilawati. (2003). Hubungan antara Profesionalisme dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi VI, Oktober, hlm.1206–1220.

Institut Akuntan Publik Indonesia. (2008). Directory 2008 Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik. Jakarta.

Lekatompessy, J.E. (2003). Hubungan Profesionalisme dengan konsekuensinya: Komitmen Organisasional, Kepuasan Kerja, Prestasi Kerja dan Keinginan Berpindah (Studi Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol.5, No.1,April, hlm.69–84.

Mulyadi. (2002). Auditing. Jakarta: Salemba Empat.

Murtanto dan Marini. (2003). Persepsi Akuntan Pria dan Akuntan Wanita serta Mahasiswa dan Mahasiswi Akuntansi terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesi Akuntan, Prosiding Simposium Nasional Akuntansi VI, Oktober, hlm.790–805.

Noviyani, P. dan Bandi. (2002). Pengaruh Pengalaman dan Penelitian terhadap Struktur Pengetahuan Auditor tentang Kekeliruan. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi V, September, hlm.481–488.

Sularso, S., dan Ainun N. (1999). Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan dan Penggunaan Intuisi dalam Mendeteksi Kekeliruan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol.2, No.2, Juli, hlm.154–172.

Selasa, 30 September 2014

ETIKA PROFESI AKUNTANSI

ETIKA PROFESI AKUNTANSI

NAMA KELOMPOK :
ISYE SITI SARAH (23211746)
MIFTA HULJANNAH (24211468)
NISA NUR HIKMAH (25211188)
NURUL SUKMA PUTRI (25211411)
NURIYANTI OKTAVIA (25211357)

JUDUL BUKU :
ETHICAL ISSUES IN ACCOUNTING (PROFESSIONAL ETHICS)
PENGARANG :
JOHN BLAKE, CATHERINE GOWTHORPE
PENERBIT :
ROUTLEDGE
SYNOPSIS :
Ethical issues in accounting offers a comprehensive and accessible introduction for students and teachers if business studies and accountancy as well as the practicing accountant.
The book covers the ethical implications of several aspects of accounting :
1. ethics and taxation
2. creative accounting
3. ethics in accounting regulation
4. ethical dilemmas in the public sector
5. whistleblowing
Including environmental accounting. The fitness of the accounting profession as guardians of accounting and auditing ethics is also discussed in detail.

SINOPSIS :
Isu Etika dalam Akuntansi menawarkan sebuah pengenalan yang komprehensif dan mudah diakses untuk murid dan guru yang belajar dibidang bisnis dan akuntansi sebagai latihan menjadi akuntan.
Sampul buku mengimplikasikan etika dari beberapa aspek akuntansi:
1. Etika dan perpajakan
2. Akuntansi kreatif
3. Etika dalam regulasi akuntansi
4. Dilema akuntansi dalam akuntansi sektor publik
5. Berbagai aspek dari akuntansi sosial. Termasuk akuntansi lingkungan.

Kemampuan profesi akuntansi sebagai penjaga etika akuntansi dan audit juga didiskusikan dengan detail.

TAHUN BUKU : 1998

Selasa, 03 Juni 2014

TUGAS SOFTSKILL BAHASA INGGRIS BISNIS 2 (3) : TUGAS INDIVIDU


10 CONTOH MISPELLED IN ENGLISH
1.     Terima cetak photo = terima cetak foto
2.     Bbm Ratu hanya diread Dini = bbm ratu hanya dibaca din
3.     Sedia aneka friedrice = sedia aneka nasi goreng
4.     Saya ingin pergi untuk merefresh otak = saya ingin pergi untuk menyegarkan otak
5.     Anak zamam sekarang senang sekali mengupload foto ke sosmed = anak zaman.       sekarang senang sekali mengunggah foto ke sosmed
6.     IG Zigzag recomended untuk para pecinta tas import = IG ZIgzag disarankan untuk pecinta tas import
7.     Jangan lupa ya invite pin Rani = jangan lupa ya undang pin Rani
8.      Wanita itu terlihat skinny = wanita itu terlihat bersinar
9.      Shifa chel = shifa cell
10.    Ibu - Ibu sedang membicarakan diamond = ibu - Ibu sedang membicarakan berlian

Rabu, 30 April 2014

TUGAS 2 BAHASA INGGRIS_2 TIGAS INDIVIDU

Progress Report liveliness of Mount Merapi 

Merapi (peak height of 2,968 m above sea level, as of 2006) is a volcano in the central part of Java Island and is one of the most active volcanoes in Indonesia. Forest area around the peak became Mount Merapi National Park area since 2004.Gunung is very dangerous because according to modern records experiencing eruption (peak of activity) every two to five years and is surrounded by a very dense settlement.

Mount Merapi is the youngest mountain in the volcanic chain that leads to the south of Mount Whittlesea. The mountain is formed due to the activity in the subduction zone of the Indo-Australian Plate is moving under the Eurasian Plate resulted in the emergence of volcanic activity along the central island of Java. The current peak is covered with vegetation because of high volcanic activity. This peak grows in the southwest side of Mount Batulawang older.

During its development, are known to occur several times an explosive eruption with VEI 4 is based on the observation layer of TEFRA. Small eruptions occur every 2-3 years, and the larger about 10-15 years. Merapi eruptions big impact recorded in the year 1006 (allegations), 1786, 1822, 1872, and 1930. Besides the eruption occurred again in 1994, 1998, 2001, 2003, 2006 and 2010. Eruption in 2010 resulted in the impact pretty terrible.

After that Mount Merapi erupted early Monday 18 November 2013. Eruption of the volcano, located on the border of Central Java and Yogyakarta bring heavy smoke and volcanic ash as high as 2,000 meters. Merapi eruption was triggered by local tectonic earthquakes beneath Mount Merapi's body. Previously there was no increase in volcanic activity, the type of eruption was phreatic eruption.

After a few months of this mountain again showed increased activity. As informed BPPTKG improve the status of Merapi to Alert on Tuesday, April 29. The increase is related to the activity status of Merapi last few days that rumbling sound. The sound was heard around the slopes of Merapi residents. Subandriyo asserted, not necessarily small eruptions occur. But he hopes people will remain idle. The increase is based on a high frequency, but when viewed berdasrkan magmatis scale the volcano considered normal.


Minggu, 30 Maret 2014

ENGLISH TASK: CULTURAL ETIQUETTE IN BUSINESS (GROUP ASSIGNMENT)

Members of the group:
1. Hidayat
2. Mifta Huljannah
3. Nisa Nur Hikmah
4. Nuriyanti Oktavia

Class: 3EB14

a. India Introduction
India is officially called Republic of India (Hindi Bharat), is located in southern Asia and is a member of the Commonwealth of Nations. India consists geographically of the entire Indian Peninsula and portions of the Asian mainland. To its north lies Afghanistan, China, Nepal, and Bhutan; to its east is Bangladesh, Myanmar (formerly known as Burma), and the Bay of Bengal; Palk Strait and the Gulf of Mannar (which separate it from Sri Lanka) and the Indian Ocean are to the south; and on the west is the Arabian Sea and Pakistan.
India is predominantly Hindu, with 81% of the population practicing that religion. Next is Muslim at 12%, Christian at 2%, and all others within the last 5% of the society. It has been found that in most cultures, their is a correlation between a country's religion and the Hofstede Dimension rankings it has. There is only one country with over 50% of its population practicing the Hindu religion – India.

b. Indian Society & Culture
Hierarchy
  • The influences of Hinduism and the tradition of the caste system have created a culture that emphasizes established hierarchical relationships.
  • Indians are always conscious of social order and their status relative to other people, be they family, friends, or strangers.
  • All relationships involve hierarchies. In schools, teachers are called gurus and are viewed as the source of all knowledge. The patriarch, usually the father, is considered the leader of the family. The boss is seen as the source of ultimate responsibility in business. Every relationship has a clear- cut hierarchy that must be observed for the social order to be maintained.


The Role of the Family
  • People typically define themselves by the groups to which they belong rather than by their status as individuals. Someone is deemed to be affiliated to a specific state, region, city, family, career path, religion, etc.
  • This group orientation stems from the close personal ties Indians maintain with their family, including the extended family.
  • The extended family creates a myriad of interrelationships, rules, and structures. Along with these mutual obligations comes a deep-rooted trust among relatives.


Just Can't Say No
  • Indians do not like to express 'no,' be it verbally or non- verbally.
  • Rather than disappoint you, for example, by saying something isn't available, Indians will offer you the response that they think you want to hear.
  • This behaviour should not be considered dishonest. An Indian would be considered terribly rude if he did not attempt to give a person what had been asked.
  • Since they do not like to give negative answers, Indians may give an affirmative answer but be deliberately vague about any specific details.  This will require you to look for non-verbal cues, such as a reluctance to commit to an actual time for a meeting or an enthusiastic response.


c. India Appearance

  • Men are generally expected to wear a suit and tie for business, although the jacket may be removed in the summer. Women should wear conservative dresses or pantsuits.
  • When dressing casual, short-sleeved shirts and long pants are preferred for men; shorts are acceptable only when exercising. Women must keep their upper arms, chest, back, and legs covered at all times.
  • Women should wear long pants when exercising.
  • The use of leather products including belts or handbags may be considered offensive, especially in temples. Hindus revere cows and do not use leather products.


d. India Behavior 
  • The head is considered the seat of the soul. Never touch someone else’s head, not even to pat the hair of a child.
  • Beckoning someone with the palm up and wagging one finger can be construed as in insult. Standing with your hands on your hips will be interpreted as an angry, aggressive posture.
  • Whistling is impolite and winking may be interpreted as either an insult or a sexual proposition.
  • Never point your feet at a person. Feet are considered unclean. If your shoes or feet touch another person, apologize.
  • Gifts are not opened in the presence of the giver. If you receive a wrapped gift, set it aside until the giver leaves.
  • Business lunches are preferred to dinners. Hindus do not eat beef and Muslims do not eat pork.


e. India Communications
  • There are more than fourteen major and three hundred minor languages spoken in India. The official languages are English and Hindi. English is widely used in business, politics and education.
  • The word "no" has harsh implications in India. Evasive refusals are more common, and are considered more polite. Never directly refuse an invitation, a vague "I’ll try" is an acceptable refusal.
  • Do not thank your hosts at the end of a meal. "Thank you" is considered a form of payment and therefore insulting.
  • Titles are very important. Always use professional titles.


f. Etiquette and Customs in India
Meeting Etiquette
  • Religion, education and social class all influence greetings in India.
  • This is a hierarchical culture, so greet the eldest or most senior person first.
  • When leaving a group, each person must be bid farewell individually.
  • Shaking hands is common, especially in the large cities among the more educated who are accustomed to dealing with westerners.
  • Men may shake hands with other men and women may shake hands with other women; however there are seldom handshakes between men and women because of religious beliefs. If you are uncertain, wait for them to extend their hand.
Gift Giving Etiquette
  • Indians believe that giving gifts eases the transition into the next life.
  • Gifts of cash are given to friends and members of the extended family to celebrate life events such as birth, death and marriage.
  • It is not the value of the gift, but the sincerity with which it is given, that is important to the recipient. 
  • If invited to an Indian's home for a meal, it is not necessary to bring a gift, although one will not be turned down.
  • Do not give frangipani or white flowers as they are used at funerals.
  • Yellow, green and red are lucky colours, so try to use them to wrap gifts.
  • A gift from a man should be said to come from both he and his wife/mother/sister or some other female relative.
  • Hindus should not be given gifts made of leather.
  • Muslims should not be given gifts made of pigskin or alcoholic products.Gifts are not opened when received.


Dining Etiquette
  • Indians entertain in their homes, restaurants, private clubs, or other public venues, depending upon the occasion and circumstances.
  • Although Indians are not always punctual themselves, they expect foreigners to arrive close to the appointed time.
  • Take off your shoes before entering the house.
  • Dress modestly and conservatively.
  • Politely turn down the first offer of tea, coffee, or snacks. You will be asked again and again. Saying no to the first invitation is part of the protocol.


There are diverse dietary restrictions in India, and these may affect the foods that are served: 
  • Hindus do not eat beef and many are vegetarians.
  • Muslims do not eat pork or drink alcohol.
  • Sikhs do not eat beef.
  • Lamb, chicken, and fish are the most commonly served main courses for non-vegetarian meals as they avoid the meat restrictions of the religious groups.
  • Much Indian food is eaten with the fingers.
  • Wait to be told where to sit.
  • If utensils are used, they are generally a tablespoon and a fork.
  • Guests are often served in a particular order: the guest of honour is served first, followed by the men, and the children are served last. Women typically serve the men and eat later.
  • You may be asked to wash your hands before and after sitting down to a meal.
  • Always use your right hand to eat, whether you are using utensils or your fingers.
  • In some situations food may be put on your plate for you, while in other situations you may be allowed to serve yourself from a communal bowl.
  • Leaving a small amount of food on your plate indicates that you are satisfied. Finishing all your food means that you are still hungry.


g. Business Etiquette and Protocol in India
Relationships & Communication
  • Indians prefer to do business with those they know.
  • Relationships are built upon mutual trust and respect.
  • In general, Indians prefer to have long-standing personal relationships prior to doing business.
  • It may be a good idea to go through a third party introduction. This gives you immediate credibility.


Business Meeting Etiquette
  • If you will be travelling to India from abroad, it is advisable to make appointments by letter, at least one month and preferably two months in advance.
  • It is a good idea to confirm your appointment as they do get cancelled at short notice.
  • The best time for a meeting is late morning or early afternoon. Reconfirm your meeting the week before and call again that morning, since it is common for meetings to be cancelled at the last minute.
  • Keep your schedule flexible so that it can be adjusted for last minute rescheduling of meetings.
  • You should arrive at meetings on time since Indians are impressed with punctuality.
  • Meetings will start with a great deal of getting-to- know-you talk. In fact, it is quite possible that no business will be discussed at the first meeting.
  • Always send a detailed agenda in advance. Send back-up materials and charts and other data as well. This allows everyone to review and become comfortable with the material prior to the meeting.
  • Follow up a meeting with an overview of what was discussed and the next steps.


Business Negotiating
  • Indians are non-confrontational. It is rare for them to overtly disagree, although this is beginning to change in the managerial ranks.
  • Decisions are reached by the person with the most authority.
  • Decision making is a slow process.
  • If you lose your temper you lose face and prove you are unworthy of respect and trust.
  • Delays are to be expected, especially when dealing with the government.
  • Most Indians expect concessions in both price and terms. It is acceptable to expect concessions in return for those you grant.
  • Never appear overly legalistic during negotiations. In general, Indians do not trust the legal system and someone's word is sufficient to reach an agreement.
  • Do not disagree publicly with members of your negotiating team.
  • Successful negotiations are often celebrated by a meal.


Dress Etiquette
  • Business attire is conservative.
  • Men should wear dark coloured conservative business suits.
  • Women should dress conservatively in suits or dresses.
  • The weather often determines clothing. In the hotter parts of the country, dress is less formal, although dressing as suggested above for the first meeting will indicate respect.


Titles 
  • Indians revere titles such as Professor, Doctor and Engineer.
  • Status is determined by age, university degree, caste and profession.
  • If someone does not have a professional title, use the honorific title "Sir" or "Madam".
  • Titles are used with the person's name or the surname, depending upon the person's name. (See Social Etiquette for more information on Indian naming conventions.)
  • Wait to be invited before using someone's first name without the title.


Business Cards
  • Business cards are exchanged after the initial handshake and greeting.
  • If you have a university degree or any honour, put it on your business card.
  • Use the right hand to give and receive business cards.
  • Business cards need not be translated into Hindi.
  • Always present your business card so the recipient may read the card as it is handed to them.



References:

Jumat, 17 Januari 2014

Tugas Bahasa Indonesia 2 (4) : Tugas Personal

Usaha Kecil dan Menengah  ( UKM ) Salah Satu Tonggak Ekonomi Indonesia

Penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh usaha kecil dan menengah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.  Usaha Kecil dan Menengah merupakan jenis usaha beskala kecil dan berdiri sendiri. Perkembangan UKM hingga saat  bisa dibilang telah mencapai puncaknya.  Banyak yang ikut berperan serta dalam memajukan usaha ini, misalnya saja berbagai Bank yang meminjamkan uang sebagai modal, serta peran dari pemerintah yang juga mempermudah terciptanya UKM dengan berbagai pembinaan dan kebijakannya. UKM di Indonesia menyumbang 60% dari PDB dan menampung 97% tenaga kerja.   Dalam pembetukannya dibutuhkan beberapa kriteria yakni sebagai berikut, UKM merupakan milik Warga Negara Indonesia, berbentuk usaha orang perorangan atau badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi, dapat berdiri sendiri dan memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000.   Usaha Kecil dan Menengah tidak lepas pula dari pungutan pajak, meski usaha tersebut tergolong jenis usaha kecil. Namun dengan demikian Pemerintah menetapkan beberapa kebijakan dan peraturan yan tentunya tidak memberatkan para pengusaha kelas menengah kebawah ini. Dengan adanya berbagai kemudahan untuk membentuk suatu usaha, maka akan seakan banyak para wirausahawan baru yang lahir dan tentunya mampu meningkatkan perekonomian di Indonesia.