Rabu, 12 Juni 2013

CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN


Kasus Prita Mulyasari
INILAH.COM, Jakarta – Penahanan Prita Mulyasari menghebohkan jagad hukum, media massa dan pelaku dunia maya. Sebuah pemasungan kebebasan berpendapat gaya baru berlindung kepada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Para aktivis HAM melihat penahanan Prita adalah bentuk penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan aparat yang main tangkap dan menahannya begitu saja. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyesalkan penahanan Prita Mulyasari, mantan pasien Rumah Sakit Omni Hospital Alam Sutra.
Prita ditahan gara-gara keluhannya atas pelayanan rumah sakit yang tersebar di milis. Prita menyebarkan email kepada 10 orang temannya yang berisi keluhannya terhadap rumah sakit tersebut. Email tersebut kemudian menyebar luas ke mailing list. Prita keberatan dengan analisis dokter yang menyebutkan dia terkena demam berdarah.
Dia merasa ditipu karena dokter kemudian memberikan diagnosis hanya terkena virus udara. Tak hanya itu, menurut Prita dalam emailnya, dokter memberikan berbagai macam suntikan berdosis tinggi.
Merasa jengkel, Prita kemudian berniat pindah ke RS lain. Namun, dia kesulitan mendapatkan hasil laboratorium. Prita telah mengajukan keberatannya ke RS Omni Internasional dan tak mendapatkan jawabannya.
Kemudian, ia menyampaikan keluhannya itu kepada teman-temannya melalui e-mail. Pihak RS Omni Tangerang telah menjawab keluhan Prita melalui mailing list dan iklan di media massa.
Banyak kalangan ikut prihatin. Dewan Pers telah mengunjungi Prita Mulyasari (32). Namun sebaiknya diteruskan juga untuk bertemu dengan Jaksa Agung dan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo).
Rombongan dipimpin Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara ke LP Tangerang. Dewan pers menyampaikan simpati karena Prita mendapati kesulitan karena dituntut RS Omni menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Padahal dia hanya menyatakan pendapatnya,” kata anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi.
Prita Mulyasari ditahan sejak 13 Mei 2009 karena diduga melanggar Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang ancaman hukumannya enam tahun.
Prita rencananya akan kembali menjalani sidang perdata pada 4 Juni mendatang setelah meminta banding atas keputusan Pengadilan Negeri Tangerang per 11 Mei 2009 yang memenangkan gugatan RS Omni.
Dewan Pers memang harus mencari kebenaran dari kasus Prita ini. Dewan Pers harus turun tangan karena Prita menyatakan pendapatnya melalui media elektronik, yang diatur dalam UU Pers.
Dalam UU Pers pasal 1 ayat 1 mengungkapkan, pers adalah wahana sosial yang mencakup menyampaikan berita, mencari, mengolah, mengumpulkan, menyimpan berita baik secara elektronik, cetak dan media lain yang tersedia. Media lain termasuk internet.
Dukungan bagi Prita juga makin meluas termasuk di situs jejaring sosial Facebook. Di sebuah grup Dukungan Bagi Ibu Prita Mulyasari, Penulis Surat Keluhan Melalui Internet Yang Dipenjara, setidaknya ada delapan ribu orang yang mendukung dan meminta Prita dibebaskan.
Selain itu, terdapat juga sebuah grup Facebook lainnya yakni, Dukung Prita Mulyasari, dukungan terus mengalir. Mulai dari kalangan yang memberikan kecaman terhadap RS Omni maupun simpati kepada Prita.
Namun dari semua komentar, yang paling banyak mendominasi adalah mempertanyakan penegakan hukum yang dilakukan aparat. Mereka menilai hukum masih belum berpihak kepada yang benar. Selain grup dukungan terhadap Prita, masih ada lagi grup yang mengecam RS Omni. Grup itu bernama “Say No To RS OMNI Internasional”.
Anggota Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Nur Kholis, saat mengunjungi Prita, menyatakan, email yang ditulis Prita merupakan bagian hak paling asasi seorang warga negara dan manusia di sebuah negara beradab. Bannyak kalangan melihat kasus Prita bisa menjadi preseden buruk atas penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia.

BAB 11, 12, 13 & 14


11. HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)

1.    Pengertian Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata "intelektual" tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3).
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan Dan sebaginya Yang tidak mempunyai bentuk tertentu.

2.     Prinsip-Prinsip Hak Atas Kekayaan Intelktual
Prinsip-Prinsip yang terdapat dalam hak atas kekayaan intelektual adalah sebagai berikut:
a.      Prinsip Ekonomi
Prinsip ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya fikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memberikan keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
b.      Prinsip  Keadilan
Prinsip keadilan, yakni didalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
c.      Prinsip Kebudayaan
Prinsip kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk meningkatkan kehidupan manusia. Dengan menciptakan suatu karya dapat meningkatkan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia yang akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
d.      Prinsip Sosial
Prinsip sosial, (mengatur kepentingan manusia sebagai warga negara), artinya hak yang diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan sehingga perlindungan diberikan berdasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat.

3.    Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektul
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan intelektual dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu hak cipta ( copyrights), dan hak kekayaan industri (industrial property rights).
1)      Hak Cipta ( copyrights )
Hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta suatu karya (misal karya seni untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin bagi orang lain untuk memperbanyak ciptaanya tanpa mengurangi hak pencipta sendiri.
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap.
Untuk mendapatkan perlindungan melalui Hak Cipta, tidak ada keharusan untuk mendaftarkan. Pendaftaran hanya semata-mata untuk keperluan pembuktian belaka. Dengan demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka secara otomatis Hak Cipta melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi dilakukan dengan mencantumkan tanda Hak Cipta.

2)      Hak Kekayaan Industri (Indutrial Property Rights)
Hak kekayaan industri (industrial property rights) adalah hak yang mengatur segala sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak kekayaan industri (industrial property rights) berdasarkan pasal 1 konvensi paris mengenai perlindungan hak kekayaan industri tahun 1883 yang telah direvisi dan di amandemen pada tanggal 2 oktober 1979, meliputi:
a.      Paten
b.      Merek
c.      Varietas tanaman
d.      Rahasia dagang
e.      Desain industri
f.       Desain tata letak sirkuit terpadu.

4.    Dasar Hukum Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Pengaturan hukum terhadap hak kekayaan inteletual di Indonesia dapat ditemukan dalam:
1.      Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
2.      Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
3.      Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
4.      Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman
5.      Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
6.      Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
7.      Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

5.     Hak Cipta
·         Pengertian Hak Cipta
Dalam pasal 1 Ayat 1 UU No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, dinyatakan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, immajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Oleh karena itu, ciptaan merupakan hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra.
Hak cipta terdiri dari atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights).
Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapuskan tanpa alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.
Dengan demikian hak cipta tidak dibaerikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi, dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.

·         Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Berdasarkan pasal 2 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta, hak cipta merupakan hak ekskusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan.
Hak cipta yang dimiliki oleh pencipta yang setelah penciptanya meninggal dunia menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat dan hak cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
Sementara itu berdasarkan pasal 5 sampai dengan pasal 11 UU No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, yang dimaksud dengan pencipta adalah sebagai berikut:
a) Jika suatu ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua atau lebih, yang dianggap sebagai pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu atau dalam hal tidak ada orang tersebut yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurngi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya itu.
b) Jika suatu ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, penciptanya adalah orang yang merancang ciptaan ittu.
c) Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang hak cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnyya ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan ciptaan itu diperluas sampai keluar hubungan dinas.
d) Jika suatu ciptaan dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan pihak ang membuat karya cipta itu dianggap sebagai:
a. Seni rupa dalam segala bentuk, seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, dan seni terapan
b. Arsitektur
c. Peta
d. Seni batik
e. Fotografi
f. Sinematografi
g. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database.
Sementara itu, yang tidak ada hak cipta meliputi:
a)      Hasil rapat terbuka lembaga-lembaga negara
b)      Peraturan perundang-undangan
c)      Pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah
d)      Putusan pengadilan atau penetapan haki
e)      Keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.

·         Masa Berlaku Hak Cipta
Dalam pasal 29 sampai dengan pasal 34 UU No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta diatur masa/jangka waktu untuk suatu ciptaan. Dengan demikian, jangka waktu tergantung dari jenis ciptaan.
a) Hak cipta atas suatu ciptaan selama hidup pencipta dan terus menerus berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Ciptaan yang dimiliki oleh dua orang atau lebih, hak cipta berlaku selama hidup pencipta pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta yang hidup terlama meninggal, antara lain:
-  Buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain
-  Lagu atau musik dengan atau tanpa teks
-  Drama atau drama musikal, tari, koreografi
-  Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, dan ciptaan lain yang sejenis.
b) Hak atas cipta dimiliki atau dipegang oleh suatu badan usaha hukum berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan, antara lain:
-  Program komputer
-  Sinematografi
-  Fotografi
-  Database, dan
-  Karya hasil pengalihan wujud
c) Untuk perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diterbitkan.
d) Untuk ciptaan yang tidak diketahui siapa penciptanya dan peninggalan sejarah dan prasejarah benda budaya nasional dipegang oleh negara, jangka waktu berlaku tanpa batas waktu.
e) Untuk ciptaan yang belum diterbitkan dipegang oleh negara, ciptaan yang sudah diterbitkan sebagai pemegang hak cipta dan ciptaan sudah diterbitkan tidak diketahui pencipta dan penerbitnya oleh negara dengan jangka panjang waktu selama 50 tahun sejak ciptaan tersebut pertama kali diketahui secara umum.
f) Untuk ciptaan yang sudah diterbitkan sebagai pemegang hak cipta jangka waktu berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diterbitkan.

·         Pendaftaran Ciptaan
Pendaftaran tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta sehingga dalam daftar umum pendaftaran ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari ciptaan yang didaftar. Selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya atau membaerikan persetujuan kepada persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakan. Dengan demikian invensi (penemuan) adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi, dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

6.     Hak Paten
·         Pengertian Hak Paten
Pengertian hak paten bisa dilihat didalam Undang-Undang, lebih tepatnya Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 2001. UU telah menyebutkan bahwa pengertian hak paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu. Seseorang inventor dapat melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Syarat mendapatkan hak paten ada tiga yaitu penemuan tersebut merupakan penemuan baru. Yang kedua, penemuan tersebut diproduksi dalam skala massal atau industrial. Suatu penemuan teknologi, secanggih apapun, tetapi tidak dapat diproduksi dalam skala industri (karena harganya sangat mahal / tidak ekonomis), maka tidak berhak atas paten. Yang ketiga, penemuan tersebut merupakan penemuan yang tidak terduga sebelumnya (non obvious). Jadi bila sekedar menggabungkan dua benda tidak dapat dipatenkan. Misalnya pensil dan penghapus menjadi pensil dengan penghapus diatasnya. Hal ini tidak bisa dipatenkan.

·         Lingkup Paten
Paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
Namun, suatu invensi merupakan hal ang tidak dapat diduga sebelum dan harus dilakukan dengan mempehatikan keahlian yang ada pada saat pertama kali diajukan permohonan.
Dengan demikian, invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. Oleh karena itu, suatu invensi dapat diterapkan dalam industri jika invensi dapat dilaksanakan dalam industri sesuai dengan apa yang diuraikan dalam permohonan.
Setiap invensi berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, kontruksi, atau komponennya dapat memperoleh perlindungan hukum dalam bentuk panen sederhana.
Sementara itu, paten yang tidak diberikan untuk invensi meliputi sebagai berikut:
a) Proses/produk, pengumuman, penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan.
b) Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia atau hewan.
c) Teori ang metode dibidang ilmu pengetahuan dan metematika, atau semua makhluk hidup, kecuali jasad renik, proses biologi yanf esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau mikrobiologis.

·         Jangka Waktu Paten
Bersadarkan pasal 8 UU No. 14 Tahun 2001 tentang paten, paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 tahun, terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu tidak dapat diperpanjang, sedangkan untuk paten sederhana diberikan jangka waktu 10 tahun, terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu tidak dapat diperpanjang. Oleh karena itu, tanggal dimulai dan berakhirnya jangka waktu paten dicatat dan diumumkan.

·         Permohonan Paten
Sementara itu, paten diberikan atas dasar permohonan. Setiap permohonan hanya dapat diajukan untuk satu invensi atau beberapa invensi yang merupakan satu kesatuan invensi.
Dengan demikian, permohonan paten diajukan dengan membayar biaya  kepada Direktorat Jendral Hak Paten Departemen Kehakiman dan HAM untuk memperoleh sertifikat paten sebagai bukti hak atas paten. Dengan demikian, paten mulai berlaku pada tanggal diberikan sertifikat paten dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan.
Namun, permohonan dapat berubah dari paten menjadi paten sederhana. Sebaliknya, perubahan ini dilakukan oleh permohonan dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam perundang-undangan.

·         Pengalihan Paten
Berdasarkan pasal 66 UU No. 14 Tahun 2001 tentang paten, paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruh maupun sebagian karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, setiap segala bentuk pengalihan paten wajib dicatat dan diumumkan di Direktorat Jenderal pengalihan paten yang tidak sesuai dengan di atas tidak sah dan batal demi hukum. Dengan demikian, pengalihan hak tidak menghapus hak inventor untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya dalam paten yang bersangkutan.

·         Lisensi Paten
Pemegang paten berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan hukum sebagaimana perjanjian berlangsung untuk jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wlayah negara Republik Indoonesia. Namun, perjanjian lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenakan biaya. Sementara itu, pelaksanaan lisensi wajib disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensi kepada pemegang paten, besarnya royyalti yang harus dibayarkan ditetapkan oleh direktorat jenderal.

·         Paten Sederhana
Paten sederhana hanya diberikan untuk satu invensi, dicatat, dan diumumkan di Direktorat Jenderal sebagai bukti hak kepada pemegang hak sederhana diberikan sertifikat paten sederhana. Selain itu, paten sederhana tidak dapat dimintakan lisensi wajib.

·         Penyelesaian Sengketa
Pemegang paten atau penerima lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada pengadilan niaga terhadap siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dengan perundang-undangan ini. Namun, jika dalam keputusan pengadilan niaga tidak memberikan kepastian para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

·         Pelanggaran Terhadap Hak Paten
Pelanggaran terhadap hak paten merupakan tindakan delik aduan, seperti diatur dalam pasal 130 samapai dengan pasal 135 UU no. 14 Tahun 2002 tentang paten, dapat dikenakan hukum pidana dan perampasan oleh negara untuk dimusnahkan.

7.    Hak Merek
·         Pengertian Hak Merek
Berdasarkan pasal 1 UU No. 15 Tahun 2001 tentang merek, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

·         Jenis-Jenis Merek
Jenis-jenis merek dapat dibagi menjadi merek dagang, merek jasa, dan merek kolektif.
a)      Merek Dagang
Merek dagang merupakan merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenisnya.
b)     Merek Jasa
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
c)      Merek Kolektif
Merek kolektif merupakan merek yang digunakan pada barang/jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau hal sejenis lainnya.
d)     Merek yang Tidak Dapat Didaftar
Apabila merek didasarkan atas permohonan dengan iktikad tidak baik maka merek tidak dapat didaftar apabila mengandung salah satu unsur:
o   Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum
o   Tidak memiliki daya pembeda
o   Telah terjadi milik umum.


8.    Desain Industri
·         Pengertian dan Istilah
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri menyebutkan bahwa Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam Desain Industri antara lain:
- Pendesain: seseorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain industri.
- Hak Desain Industri: Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

·         Lingkup Desain Industri
a.      Desain Industri yang Dilindungi
Hak desain industri diberikan untuk desain industri yang baru, yaitu apabila pada tanggal penerimaan permohonan desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya.
b.      Desain Industri yang Tidak Dilindungi
Hak desain industri tidak dapat diberikan apabila suatu desain industri bertentangan     dengan:
o   Peraturan perundang-undangan yang berlaku
o   Ketertiban umum
o   Agama


·         Bentuk dan Lama Perlindungan
Bentuk perlindungan yang diberikan kepada Pemegang Hak Desain Industri adalah hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya dan berhak melarang pihak lain tanpa persetujuannya untuk membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang telah diberikan Hak Desain Industrinya. Sebagai pengecualian, untuk kepentingan pendidikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang Hak Desain Industrinya, pelaksanaan hal-hal di atas tidak dianggap pelanggaran. Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan.

·            Pelanggaran dan Sanksi
 Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak membuat, memakai, menjual, mengimpor,  mengekspor dan mengedarkan barang yang diberi hak desain industri tanpa persetujuan, dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Tindak pidana dalam desain industri merupakan delik aduan.

·         Pendaftaran Desain Industri
Untuk memperoleh perlindungan Desain Indutsri, suatu kreasi harus didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual-Departemen Hukum dan HAM (Ditjen HKI-Dephuk & HAM).

9. Rahasia Dagang
·         Pengertian dan Dasar Hukum Rahasia Dagang
Rahasia Dagang adalah Informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.

·         Lisensi
Lisinsi adalah izin yang diberikan oleh pemilik rahasia dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.
Perjanjian Lisensi wajib  dicatatkan  pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan dikenai biaya. Yang “wajib dicatatkan” pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual hanyalah mengenai data yang bersifat administratif dari perjanjian lisensi dan tidak mencakup substansi rahasia dagang yang diperjanjikan.

·         Pengalihan
-  Hak Rahasia Dagang dapat beralih atau dialihkan dengan
-  Pewarisan
-  Hibah
-  Wasiat
-  Perjanjian tertulis
-  sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
o  Pengalihan Hak Rahasia Dagang disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak.
o  Segala bentuk pengalihan Hak Rahasia Dagang wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan dikenai biaya.
o  Pengalihan Hak Rahasia Dagang yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
o  Pengalihan Hak Rahasia Dagang diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang.

·         Lingkup Rahasia Dagang
Lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.

·         Subyek (Pemegang) Hak Atas Rahasia Dagang
Pemegang hak atas rahasia dagang diartikan sebagai pemilik rahasia dagang atau pihak lain yang menerima hak dari pemilik rahasia dagang.

·         Perlindungan Rahasia Dagang
Rahasia Dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya.
Informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.

·         Hak Pemilik (Pemegang) Rahasia Dagang
Pemilik Rahasia Dagang memiliki hak untuk :
o   Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya
o Memberikan Lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.





12. PERLINDUNGAN KONSUMEN

1.      Pengertian Konsumen
Pengertian konsumen menurut aphilip kotler (2000) dalam bukunya principles of marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.

2.      Asas dan Tujuan
Asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
a.    Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
b.    Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
c.    Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
d.    Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e.    Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Baik konsumen dan pelaku usaha harus mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
o Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen  untuk melindungi diri
o Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
o Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
o Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
o Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
o Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen

3.      Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen (UUPK), hak-hak konsumen adalah :
o Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
o Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
o Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
o Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
o Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
o Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
o Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
o Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
o Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen, kewajiban konsumen adalah :
o Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
o Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
o Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
o Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

4.      Hak dan Kewajiban Pelaku usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
o Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
o Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
o Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
o Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
o Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
o Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
o Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
o Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
o Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
o Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
o Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
o Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di KUHP, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

5.      Perbuatan yang Dilarang Oleh Pelaku Usaha
Pasal 8 Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang:
o Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan     peraturan peruundang-undangan.
o Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaiman yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
o Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
o Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan bbarang atau jasa tersebut.
o Tidak sesuai dengan mutu, tingkaan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang atau jasa tersebut.
o Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang atauu jasa tersebut.
o Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
o Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana mestinya pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
o Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi bersih (netto), komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
o Tidak mencantumkan informasi atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
o Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa member informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
o Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
o Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pasal 9 Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan satu barang atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah:
o Barang tersebuut telah memenuhi dan memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
o Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru.
o Barang atau jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, cirri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
o Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, afiliasi.
o Barang atau jasa tersebut tersedia.
o Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
o Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
o Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
o Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain.
o Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahayya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
o Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
o Barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
o Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang atau jasa tersebut.

Pasal 10 Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdaganngkan dilarang menawarkan, mempromoosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan menggenai:
·      Harga atau tarif barang atau jasa.
·      Penggunaan suatu barang atau jasa.
·      Kondisi, tanggunagn, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa.
·      Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
·      Bahaya penggunaan barang atau jasa.

Pasal 11 Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui atau menyesatkan konsumen dengan:
o Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu.
o Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.
o Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang yang lain.
oTidak menyediakan barang dengan juumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
o Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjial jasa yang lain.
o Menaikan harga atau tarif  barang atau jasa sebelum melakukan obral.

Pasal 12 Pelaku usaha dilarang menawarkan, empromosikan atau mengiklankan suatu barang atau jaa dengan harga atau tarif  khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannyasesuai dengan waktu dan jumlahh yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

Paal 13
o Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan sebagaimana yang dijanjikannya.
o Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain.

Pasal 14 Pelaku usah dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
·      Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan.
·      Mengumumkan khasilnyya tidak melalui media massa.
·      Memberikan hadiah tidak sesuai yang dijanjikan.
·      Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

Pasal 16 Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
·      Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang diijanjikan.
·      Tidak menepati janji atau suatu pelayanan atau prestasi.

Pasal 17 Pelaku periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
o Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa.
o Mengelabui jaminan atau garansi terhadap barang atau jasa.
o Memuat informasi yang keliru, salah., atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
o Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang atau jasa.
o Mengeksploitasu kejadian atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan ybs.
o Melanggar etika atau kettentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
o Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

7.      Klausula Baku Dalam Perjanjian
Klausula baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang engikat dan wajib dipenuhi olehkonsumen. Lazimnnya klausula baku dicantumkan dalam huruf kecil pada kuitansi, faktur atau bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli.
Memang klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak perjanjian atau kontrak sehari-hari kita harus selalu menegoisasikan syarat dan ketentuannya. Misalnya, jika membeli tiket menonton pertunjukan, apakah wajar untuk menegoisasikan akibat hukum jika pertunjuka itu dibatalkan? namun demikian, untuk melindungi kepentingan konsumen beberapa jenis klausula baku secara tegas diilarang dalam undang-undang perlindungan konsumen.

· Klausula baku yang dilarang, ada klausula baku yang diilarang dalam UU PK artinya klausula baku selain itu sah dan mengikat secarra hukum.
Klausula baku dilarang mengandung unsure-unsur atau pertanyaan :
o Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (atau pengusaha) kepada konsuumen.
o Hak pengusaha untuk menolak mengembalikan barang yang dibeli konsumen.
o Hak pegusaha untuk menyerahkan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen.
o Pemberian kuasa dari konsuumen kepada pengusaha untuk melakukan segala tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli secara umum.
o Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen.
o Hak pengusaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
o Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan yang dibuat sepihak oleh pengusaha semasa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
o Pemberian kuasa kepada pengusaha untuk membebankan hak tanggungan, gadai, atau hak jaminan terhadapbarang yang dibeli oleh kosumensecara angsuran pasal 56 UU 8/99.

Selain itu, pengusaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihatatau tidak dapat jelas dibaca, aytau yang maksuudnya sulit dimengerti.
Jika pengusaha tetap mencantumkan klausula baku yang dilarang tersebut, maka klausula itu batal demi hukum. Artinya klausula itu dianggap tidak pernah ada.


8.      Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari produk yang cacat, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan/jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Didalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan,
b. Cacat barang timbul pada kemudian hari,
c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang,
d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen,
e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

9.      Sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
Sanksi Perdata
Ganti rugi dalam bentuk:
o Pengembalian uang atau
o Penggantian barang atau
o Perawatan kesehatan, dan/atau
o Pemberian santunan ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi

·         Sanksi administrasi ganti rugi dalam bentuk:
Maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25 sanksi Pidana kurungan :
o Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 182
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f ketentuan piidana lain (diluar UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen)

·         Jika konsumen luka berat, cacat berat, sakit berat, atau kematian dikenakan 11 hukuman tambahan antara lain:
a.      Pengumuman keputusan hakim
b.      Pencabutan izin usaha
c.      Dilarang memperdagangkan barang dan jasa
d.      Wajib menarik dari peredaran barang atau jasa.
e.      Hasil pengawasan diisebarluaskan kepada masyarakat.





13. Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

1.     Pengertian
     Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
      UUAnti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) UU Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) UU Anti Monopoli.

2.     Azas dan Tujuan
    Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan yang terkandung di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
c. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
d. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.


3.     Kegiatan yang dilarang

     Bagian Pertama Monopoli Pasal 17 
a)     Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 
b)    Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
· Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; 
· Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
· Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bagian Kedua Monopsoni Pasal 18
a) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bagian Ketiga Penguasaan Pasar Pasal 19 Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a) Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b) Atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat Persekongkolan Pasal 22 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.




4.     Perjanjian yang dilarang
Ø  Oligopoli
   Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.

Ø  Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a) Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
b) Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c) Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
d) Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

Ø  Pembagian wilayah
   Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

Ø  Pemboikotan
    Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

Ø  Kartel
   Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

Ø  Trust
   Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

Ø  Oligopsoni
    Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.

Ø  Integrasi vertikal
   Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

Ø  Perjanjian tertutup
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

Ø  Perjanjian dengan pihak luar negeri
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

5.     Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
A.    Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari:
ü  Oligopoli
ü  Penetapan harga
ü  Pembagian wilayah
ü  Pemboikotan
ü  Kartel
ü  Trust
ü  Oligopsoni
ü  Integrasi vertikal
ü  Perjanjian tertutup
ü  Perjanjian dengan pihak luar negeri

B.    Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
ü  Monopoli
ü  Monopsoni
ü  Penguasaan pasar
ü  Persekongkolan

C.    Posisi dominan, yang meliputi :
ü  Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
ü  Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
ü  Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
ü  Jabatan rangkap
ü   Pemilikan saham
ü  Merger, akuisisi, konsolidasi

6.     Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

7.     Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

Pasal 48
a) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
b) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
c) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.


Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 KUHP, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.    Pencabutan izin usaha; atau
b.    Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c.     Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana





14. Penyelesaian Sengketa Ekonomi

A. Pengertian
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. Adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. Dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive).

B. Cara-Cara Penyelesaian
1. Negosiasi dan ADR
Negosiasi adalah sarana paling banyak digunakan. Sarana ini telah dipandang sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan puluh persen) sengketa di bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara ini. Penyelesaiannya tidak win-lose tetapi win-win. Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang memuaskan para pihak.
2. Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer di kalangan pengusaha. Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan klausul arbitrase dalam kontrak mereka. Dewasa ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sudah semakin populer. Badan-badan penyelesaian sengketa sejenis telah pula lahir. Di antaranya adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), badan penyelesaian sengketa bisnis, dll.
3. Pengadilan
Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan. 4 Pengusaha atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam melihat hukum bukan dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan. Masyarakat umumnya meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula persepsi mereka terhadap polisi, jaksa, atau pengacara.
4. Mediasi
Mediasi adalah upaya penye dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.

C. Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
1. Perundingan
Perundingan merupakan tindakan atau proses menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima.
2. Arbitrase
Kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan
3. Ligitasi
Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.
Jadi perbandingan diantara ketiganya ini merupakan tahapan dari suatu penyelesaian pertikaian. Tahap pertama terlebih dahulu melakukan perundingan diantara kedua belah pihak yang bertikai, kedua ialah ke jalan Arbitrase ini di gunakan jika kedua belah pihak tidak bisa menyelesaikan pertikaian yang ada oleh sebab itu memerlukan pihak ketiga. Ketiga ialah tahap yang sudah tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan pihak ketiga oleh sebab ini mereka mebutuhkan hukum atau pengadilan untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.

Sumber: